·
Kasus Di
Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
I. PENDAHULUAN
Untuk
mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku
menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si
pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan.
Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan
untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk
berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti
mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada
kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab
orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk
menyimpang.
Masalah
sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa
melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil
dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di
kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak
layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari
transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya.
Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi
sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses
sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan
kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat
yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat
kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian
wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding,
derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak
stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok
Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas.
Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi
kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka
seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan
nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk
menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai
pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami
gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku
menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang
biasa dan wajar.
II. TUJUAN PENELITIAN
1.
Mengidentifkasi dan memberikan gambaran bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan
remaja di pinggiran kota metropolitan Jakarta, yaitu di kelurahan Pondok Pinang.
2. Untuk mengetahui hubungaanan aaantara
kenakalan remaja dengan keberfungsian sosial keluarga
3.
Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah
kenakalan remaja dengan memanfaatkan
keluarga sebagai basis dalam pemecahan masalah.
III. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Pemilihan metode ini karena penelitian yang dilakukan ingin
mempelajari masalah-masalah dalam suatu masyarakat, juga hubungan antar
fenomena, dan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian yang ada.
Cara
pemilihan sampel yang dilakukan pertama memilih wilayah yang mempunyai kategori
miskin, dengan cara melihat kondisi mereka yang perumahannya di bawah standar,
dengan kondisi penduduk yang sangat padat, lingkungan yang tidak teratur dan
perkiraan tingkat kesehatan masyarakatnya yang buruk. Setelah itu konsultasi
dengan ketua RW dan ketua-ketua RT untuk mencari informasi tentang warganya
yang dianggap telah melakukan kenakalan, dengan perspektif labeling. Dari
informasi tersebut data pada tiga RT. Berdasarkan data tersebut kita jadikan
populasi dengan jumlah 40 remaja dan keluarga yang akan dijadikan unit dalam
analisis. Dari jumlah tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil 10 sampel
(remaja dan keluarga) sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan sample ini
dengan cara random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dipandu
dengan daftar pertanyaan.
Responden
remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13 tahun-21
tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979 anak
adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada usia
tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas,
kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah,
konflik mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan
keluarga-keluarga dengan sistem kesejahteraan sosial).
IV. KERANGKA KONSEP
Konsep
Kenakalan Remaja
Pada
dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak
sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono
(1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat
sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada
ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai
suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku
pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku /
tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta
ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Singgih
D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan
dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1)
kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam
undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran
hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum
bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi
kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka
berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2)
kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai
mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus
seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll.
Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.
Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan
atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim
(dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat
kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of
Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena
tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan
normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat,
perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu
perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap
normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan
keresahan pada masyarakat.
Keberfungsian
sosial
Istilah
keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan
kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan
tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat
diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi
penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap
individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan
dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan
tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan
seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam
situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan
nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian
sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta
adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya,
dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan
adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan
tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi
terhadap anggota keluarganya.
V. HASIL PENELITAN
A. Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Responden
Berdasarkan
data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja
sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial
keluarga di Pondok Pinang pinggiran kota metropolitan Jakarta. Adapun ukuran
yang digunakan untuk mengetahui kenakalan seperti yang disebutkan dalam
kerangka konsep yaitu (1) kenakalan biasa
(2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dan (3) Kenakalan
Khusus. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 responden, dengan jenis
kelamin laki-laki 27 responden, dan perempuan 3 responden. Mereka berumur
antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak mereka yang berumur antara 18 tahun-21
tahun.
Bentuk
Kenakalan Remaja Yang Dilakukan Responden (n=30)
Bentuk
Kenakalan:
1. Berbohong
2. Pergi keluar rumah tanpa pamit
3. Keluyuran
4. Begadang
5. membolos sekolah
6. Berkelahi dengan teman
7. Berkelahi antar sekolah
8. Buang sampah sembarangan
9. membaca buku porno
10.
melihat gambar porno
11.
menontin film porno
12.
Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM
13.
Kebut-kebutan/mengebut
14.
Minum-minuman keras
15.
Kumpul kebo
16.
Hubungan sex diluar nikah
17.
Mencuri
18.
Mencopet
19.
Menodong
20.
Menggugurkan Kandungan
21.
Memperkosa
22.
Berjudi
23.
Menyalahgunakan narkotika
24.
Membunuh
Bahwa
seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan
biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya,
keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan jenis
kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran
dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan,
mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan
pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks
di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta
menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari
mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal
ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga,
maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang
semakin kompleks.
B.
Hubungan Antara Variabel Independen dan Dependen
Hubungan
antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan
Salah
satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan antara jenis
kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak
laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya sama. Berdasarkan
tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak laki-laki yang melakukan
kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan 2 responden, dan kenakalan
khusus 22 responden (73,3%). Sedangkan
anak perempuan yang melakukan kenakalan biasa 2 responden (2,7%) dan kenakalan
khusus 1 responden (3,3%). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan kenakalan
khusus adalah anak laki-laki (73,3%),
namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau dibandingkan diantara 27 responden
anak laki-laki 22 responden (81,5%) diantaranya melakukan kenakalan khusus, sedangkan
dari 3 responden perempuan 1 responden
(33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti probababilitas anak
laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus.
Demikian juga yang melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan, anak perempuan tidak ada yang
melakukannya. Dengan demikian maka anak laki-laki kecenderungannya akan
melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan lebih
dibandingkan dengan anak perempuan.
Hubungan
antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Berdasarkan
data yang ada, pekerjaan responden adalah sebagai pelajar dan tidak bekerja (menganggur) masing-masing 13
responden (43,3%), sebagai buruh dan berdagang
masing-masing 2 responden (6,7%). Dari tabel korelasi persebaran datanya sebagai berikut;
Pelajar yang melakukan kenakalan biasa 5 responden (16,7%), kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden (6,7%), dan kenakalan khusus 6 responden (20%) .
Sedangkan mereka yang tidak bekerja (menganggur) semuanya 13 responden
melakukan kenakalan khusus, juga mereka yang bekerja sebagai pedagang dan buruh
semuanya melakukan kenakalan khusus. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melakukan
kenakalan khusus ataupun jenis kenakalan lainnya adalah mereka yang tidak
sibuk, atau banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif.
2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan
tingkat kenakalan yang dilakukan
Seharusnya
semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan
yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan
ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka
tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan.
Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang tamat SLTA justru yang
paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti
separoh lebih, dengan terbanyak 12
responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan
kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%)
melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya
SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus.
Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya semakin
tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan.
Artinya di lokasi penelitian kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena
rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD
sampai dengan SLTA proporsi untuk
melakukan kenakalan sama kesempatannya. Dengan demikian faktor yang kuat adalah
seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak
dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam
sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar
pengaruhnya.
C.
Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga
Dalam
kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga,
diantaranya adalah kemampuan berfungsi
sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga
yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan,
dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
1. Hubungan antara pekerjaan orang tuanya
dengan tingkat kenakalan
Untuk mengetahui apakah kenakalan juga
ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan
kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan
ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena
dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan oangtuanya sebagai pegawai
negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden
(16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%),
wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%) 7.
Dari
tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri walaupun
melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi
mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan
wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti
pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh
anak-anaknya. Keadan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih
memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun
kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih
efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai
penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua
itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang
mengarahkan pada kehidupan yang normative.
2. Hubungan antara keutuhan keluarga dengan
tingkat kenakalan
Secara teoritis keutuhan keluarga
dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak
remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur
keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga
Dilihat
dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9
responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi
ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi
anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata
mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan
kenakalan khusus.
Namun
jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang melakukan kenakalan khusus berasal dari
keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu
diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%),
sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak
serasi 13 responden (43,3%). Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk
menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya
melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam
keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada
kenakalan khusus.
3. Hubungan antara kehidupan beragama
keluarganya dengan tingkat kenakalan
Kehidupan
beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian
sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi
rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti
mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis
bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka
anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.
Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden
(20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9
responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang
keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya
beragama bagi keluarga sangat
berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti
bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan
anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan
kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
4. Hubungan antara sikap orang tua dalam
pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan
Salah satu sebab kenakalan yang
disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik
anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%),
overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan
tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi
diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama
sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12
responden melakukan kenakalan khusus.
Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan
sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.
5. Hubungan antara interaksi keluarga dengan
lingkungannya dengan tingkat kenakalan
Keluarga
merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus
berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan
tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan
ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses
sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan
lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden
(40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi
keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau
lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada
tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat
dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang interaksinya
dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
6.
Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga,
serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama. Data
tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah
tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden
(6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena
kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus
pencurian.
Sedangkan responden yang pernah dihukum
penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus
pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan
narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian
sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden
(30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2
tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya
dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan
tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga
merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara.
Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya
masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus
pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin
anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum.
D.
Analisis Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan
Remaja
Setelah dianalisis secara bivariat
antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya dianalisis secara statistik
dengan rumus product moment guna melihat
keeratan hubungan tersebut. Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi korelasi
product moment diperoleh data sebagai berikut; nilai x = 510 y = 322 x2 = 9.010 y2 = 3.752 xy = 5.283 hasil perhitungan yang diperoleh = -
0,6022. Sedang nilai r yang diperoleh dalam tabel dengan taraf significansi 5%,
dengan sampel 30 adalah 0,361
Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh dari hasil
penelitian jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya berarti ada hubungan negative antara
keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang dilakukan. Artinya semakin
tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan
remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah keberfungsian sosial keluarga
maka akan semakin tinggi tingkat
kenakalan remajanya.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa
secara jenis kelamin terlihat remja pria lebih cenderung melakukan kenakalan
pada tinglat khusus, walaupun demilikan juga remaja perempuan yang melakukan
kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari remaja
ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan tinggi melakukan kenakalan
khusus demikian juga mereka yang
berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan
kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat
kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh,
tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan
khusus. Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak
serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga
juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang
taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi
bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka
pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap
orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi
keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi)
terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan
akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga
berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya
dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada
tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan
sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan
analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak
seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar
kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang.
Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka
kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih
berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka
kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan
khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik
kesimpulan umum bahwa ada hubungan
negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya
bahwa semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah
kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya semakin ketidak berfungsian
sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya (perilaku
menyimpang yang dilakukanoleh remaja. Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk
memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu
meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui program-program
kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan social
yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara keseluuruhan
Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan memberikan
program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap
karang taruna. Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya
manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang
sesuai dengan kebutuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan pesan pembaca. so jangan lupa tinggalkan komentarnya yea,,,
atau bsa tulis lngsung di guestbook,,, thanks your visited