KATA PENGANTAR
Al-khulafa al-Rasyidin
merupakan pemimpin islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat.
Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat
melalui mekanisme
yang demokratis. Siapa yang dipilih, yang lain berhak untuk memberikan bai’at
(sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Perjalanan Empat Khalifah
akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar
As-Shidiq, Umar ibn Khattab, Usman ibn ‘Affan, dan Ali ibn Abi Thalib
(selanjutnya masing-masing mereka sebut Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali).
Nabi Muhammad SAW, tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan
sepeninggalnya dalam memimpin umat islam yang baru terbentuk. Memang wafat
beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika
beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kuranganya dalam tiga bulan,
Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.
Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat islam menjadi
sangat tegang. Pada hal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil
membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu
antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dilambatkanya pemakaman jenazah beliau
menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang
bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini, yakni:
Ansar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.
PRIODE AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
632-661 M
A.
Abu Bakar As-Shidiq
Namanya ialah Abdullah bin Abi Quhafa at-Tamimi. Di zaman pra Islam
bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk
salah seorang sahabat yang utama. Julukannya ialah Abu Bakar ( Bapak Pemagi)
karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelarnya
as-Siddiq diperoleh karena ia segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa,
terutama Isra’ dan Mi’raj.[1]
Nabi seringkali menunjuknya untuk mendampinginya di saat-saat
penting atau jika berhalangan, Rasul mempercayainya sebagai pengganti untuk
menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual
di Madinah. Pilihan umat terhadap tokoh ini sangatlah tepat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, mulailah periode
al-khulafa al-Rasyidin atau fase baru. Pada periode ini muncul persoalan
baru dan diselesaikan dengan pemikiran / ijtihad.
Contohnya, dapat diungkapakan, bahwa pasca wafatnya Nabi SAW, para
sahabat sedang sibuk dalam pengurusan jenazahnya, tiba-tiba Abu Bakar dan Umar
tinggalkan tempat duka menuju ke Tsaqifah Bani Sa’idah, di mana Kaum Anshar
telah berkumpul. Mereka mencalonkan Sa’ad ibn ‘Ubadah (Suku Khazjra) dan hampir
memilih sebagai pengganti Nabi. Abu Bakar berpidato dihadapan para sahabat yang
ada di sana dengan alasan hadits Nabi al-yimmatu min Quraisy (kepemimpinan
dalam islam adalah dari kalangan Quraisyi). Akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah al-Rasul (pengganti Rasul).
Periode Abu Bakar 632-634 M, sangat singkat hanya dua tahun lebih,
ia mampu mengamankan negara baru islam dari perpecahan dan kehancuran, baik
dikalangan sahabat mengenai persoalan pengganti Nabi maupun tekanan-tekanan
dari luar dan dalam. Seperti ekspedisi keluar negeri (kirim kembali Usamah ibn
Zaid ke Syam), menghadapi para pembangkang terhadap negara dengan tidak mau
bayar pajak (zakat), dan penumpasan nabi-nabi palsu. Khalifah membagi negerinya
dengan 12 wilayah (termasuk Usama ditugaskan ke Syam) dengan 12 batalyon juga
yang masing-msing dikepalai seorang jenderal.
Pengiriman tentara secara serentak untuk menghadapi para
pembangkang di daerah-daerah Jazirah
Arab guna memanfaatkan sumber daya manusia yang besar dan menganggur. Ali
ditugaskan untuk mengamankan kota Madinah yang keamanannya sangat parah. Ia
menunaikan tugasnya dengan baik dan hal ini adalah jawaban, bahwa meskipun ia
terlambat membai’at hampir “enam” bulan setelah wafatnya nabi, karena
menghormati perasaan/jiwa istrinya, Fatimah binti Muhammad, namun ia tetap
mendukung kebijaksanaan pemerintah Abu Bakar sebagai khalifah yang sah.
Nabi wafat pada 12 Rabi’ al-Awal 10 H bertepatan dengan 08 juni 632
M di madinah. Ia memang membentuk suatu ummah (konfedarasi), akan tetapi
untuk menjalankanya Nabi tidak tinggalkan wasiat, pesan atau menunjuk siapa di
antara sahabatnya bakal menjadi khalifah. Pemikiran (persoalan) politik yang
pertama muncul dalam Islam setelah wafatnya Nabi bukan masalah teologi. Di satu
sisi, Nabi tidak meninggalkan putera laki-laki dan di sisi lain tidak menunjuk
siapa penggantinya atau Imam kaum muslim
setelah ia wafat.
Oleh karena itu, persoalan tersebut menjadi rumit dan hampir
memecah belah kaum muslim secara khusus dan ummah secara umum yang baru
saja dibentuk Nabi setelah hijrah ke Yatsrib. Orang Ansar berkumpul di Balai
Tsaqifah Bani Sa’idah (semacam MPR dulu dikenal dengan Nadi al-Qaum)
guna memecahkan persoalan imamah tersebut. Kemudian suku Khazraj
mengusulkan, Sa’ad ibn ‘Ubadah sebagai khalifah. Mereka beranggapan, bahwa
orang Ansarlah yang banyak menolong Nabi dan kaum Muhajir, saat hijrah ke
Madinah, sebab itulah islam cepat sekali diterima dan tersebar.
Kaum Muhajir beranggapan, bahwa merekalah yang paling berhak untuk
memangku jabatan kekhalifahan, sebab pengorbanan mereka besar sekali, di mana
mereka tinggalkan sanak keluarga dan tanah tumpah darah (Mekah). Mendengar
berita itu Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah segera muncul di Balai Tsaqifah
tersebut. Tiga orang tokoh penting sahabat Nabi tersebut yang menentukan masa
depan Islam. Abu Bakar berpidato, “agar
masing-masing pihak utamakan tentang Islam yang baru lahir yang ditinggal Nabi,
jangan jadi bercerai-berai dan hancur.”
Akhirnya muncul pemikiran / usulan
baru, bahwa dari masing-masing (Ansar dan Muhajir) pihak dipilih satu orang
imam/khalifah, jadi dua orang kepala negera dalam satu negara. Abu Bakar
mengeluarkan argumen berdasarkan hadis Nabi tersebut, maka gugurlah tuntutan
Ansar tentang calon khalifah dari kalangan mereka. Husaini, menguraikan tentang
pemilihan khalifah pertama dalam Islam, terdapat dua hal pokok, yaitu
senioritas dan keunggulan suku Quraisy atau suku-suku lain zaman pra-Nabi,
syarat utama menjadi anggota al-Mala’ (DPR) dan Nadi al-Qaum
adalah minimal usia 40 tahun apalagi bagi kepala suku/kepala negara.
Sistem ini diambil Nabi dalam pemerintahan di mana para anggota
yang duduk di Majlis Syura’, kesemuanya berusia di atas 40 tahun. Akhirnya Umar
berdiri dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah dengan alasan yang utama
adalah senioritas dan berasal dari suku Quraisy. Dengan demikian, desas-desus
dan kemungkinan akan klaim tentang jabatan kekhalifahan oleh Ali sebagai
khalifah otomatis gugur. Hal ini dapat dipahami: Ali tidak hadir di Balai
Tsaqifah, bukan karena tidak diajak Abu Bakar dan Umar, melainkan Ali memahami
betul bahwa, ia tidak bakal dipilih, karena belum memenuhi syarat mutlak
(minimum usia 40 tahun).
Hasil pertemuan dibalai Tsaqifah dengan perdebatan yang sengit
menghasilkan Abu Bakar sebagai Khalifah al-Rasul (al-Baiah
al-Khasanah dan al-Bai’ah al-Ammah) terhadap Abu Bakar, ia berpidato
dihadapan publik: “Wahai manusia! Aku telah diangakat untuk mengendalikan
urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu, maka jikaulah aku
dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku
salah, maka luruskanlah. Hendaklah kamu ta’at kepadaku selama aku ta’at kepada
(Allah dan Rasullah-Nya), bagimu tidak wajib mentaatiku.”[2]
Pidato khalifah itu mengandung arti yang sangat penting, karena
terbukti pemerintahanya penuh demokratis dan berdaulat. Walaupun dalam islam
itu mutlak berada ditangan Allah, namun dalam hal urusan dunia, khalifah
sebagai pengganti Nabi yang penuh berdaulat dan legitimasinya diperoleh dari
pengakuan rakyat. Hal ini terlihat dalam pidatonya, Seorang Khalifah
itu baru berdaulat apabila dapat pengakuan dari rakyat.
1.
Tipe Kepemimpinan Abu Bakar
Setelah terpilih menjadi Khalifah,
Abu Bakar menghadapi berbagai tugas dan persoalan seperti mengirim kembali
ekspedisi Usamah ke Syam yang telah ditugaskan Nabi untuk menghadapi bizantium
yang sekaligus juga membalas kematian ayahnya, Zaid di medan perang sebelumnya.
Di sisni Abu Bakar bertindak seolah-olah sunah nabi karena nabilah yang memilih
Usamah sebagai panglima perang.
Corak pemerintahanya yang sentralistis sebagaimana diterapkan
nabi berdasarkan al-Qur’an dan
sunnah, namun demikian dalam urusan kenegaraan nabi tetap mengutamakan
musyawarah dalam memutuskan berbagai
persoalan, seperti gaji tentara, penetapan departemen, pemilhan ofisial,
penetapan pajak, mengirim dan menerima duta besar, dan sebagainya. Hal ini yang
dilakukan khalifah adalah menugaskan Umar ibn Khattab sebagai hakim dan Usman
ibn Affan sebagai deputy yang mengurusi kesekretariatan negara bersama
dengan Zaid ibn Tsabit.
Di sisi lain, masuh-musuh luar
terutama dua super power (Bizantium dan Sasania) beranggapan, bahwa dalam
negeri Madinah keamanannya sudah kuat pasca wafatnya Nabi, jika tidak demikian,
bagaimana mungkin ekspedisi Islam
dikirim jauh dari Madinah ke Syam. Selain itu penolakan membayar zakat dan
pajak-pajak lain terhadap pemerintahan yang baru saja ditinggalkan Nabi, di
mana mereka beranggapan, bahwa kontrak / perjanjian untuk membayar pajak kepada
negara dengan Nabi telah usai saat ia wafat, maka pajak tidak perlu dikirim
pada pemerintah baru, pimpinan Abu Bakar, diantaranya, suku-suku di Yaman,
Yamamah, dan Oman, serta kemunculan nabi-nabi palsu. Mereka semua memusuhi
pemerintahan Madinah.
Abu Bakar menghadapi mereka dengan tegas dan lugas, hanya memberikan
dua Alternatif kepada mereka, tunduk tanpa syarat atau diperangi dengan
mengirim tentara. Akhirnya pasukan Islam menang atas musuh-musuh Islam yang
keluar dari barisan Islam yang dikeali dengan perang riddah
.
2.
Kontribusi Abu Bakar Dalam Pemerintahan
Ada beberapa kontribusi yang di lancarkan khalifah Abu
Bakar as-Shiddiq dalam kepemerintahannya, yakni:
1. Khalifah dengan
tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap orang-orang yang enggan membayar
zakat, diantaranya karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak yang
dipaksakan danpenyerahanya kebendaharaan pusat di Madinah sama artinya dengan “penurunan kekuasaan”, suatu sikap
yang tidak disukai oleh suku-suku arab karena bertentangan dengan karakter
mereka yang independent. Mereka juga menduga bahwa hanya Nabi saja yang berhak
memungut zakat.
2.
Tentara islam dibawah pimpinan Musanna dan Khalid ibn Walid dikirim
ke Irak dan menaklukan Hirah; sebuah kerajaan setengah arab yang menyatakan
kesetianya kepada kisra Persia, yang secara strategis sangat penting bagi umat islam
dalam meneruskan penyebab agama ke wilayah-wilayah dibelahan utara dan timur.
Sedangkan ke Suriah, suatu negara di utara arab yang dikuasai Romawi Timur
(Byantium), Abu Bakar mengutus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid ibn Abi
Subyan, ‘Amr ibn As dan Syurahbil.
3. Penumpasan Nabi
palsu
4. penumpasan kaum
murtad
B.
Umar ibn Khattab
Ia bernama Umar ibn Khattab ibn Nufail keturunan Abdul ‘Uzza
al-Quraisy dari suku ‘Adi, salah satu
suku yang terpandang mulia. Ia dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum
kelahiran Nabi saw. Dia dalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta
pemberani. Ia ikut memelihara ternak ayahnya, dan berdagang hingga ke Syria. Ia
juga dipercaya oleh suku bangsanya, Quraisy, untuk berunding dan mewakilinya
bila ada persoalan dengan suku-suku yang lain.
Umar masuk islam pada tahun kelima setelah kenabian, dan menjadi
salah satu sahabat terdekat Nabi saw. Ia berkorban untuk melindungi Nabi saw.
dan agama islam, dan ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa Rasul
saw. serta dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Nabi mengenai hal-hal yang
penting. Ia dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak
mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Dengan memilih dan membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah
sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan diminta nasehatnya serta
menjadi tangan kanan Khalifah yang baru itu. Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar
telah menunjuk Umar ibn Khattab menjadi penerusnya. Rahman mengutip dari
al-Tabari, Kitab al-Rasul wa al-Muluk sebagai berikut:
“Dalam keadaan sakit (berbaring di tempat tidur), Abu bakar menunjuk
Umar ibn Khattab sebagai penggantinya. Ada keberatan dari sahabat atas
penunjukan tersebut. Akan tetapi, ia mengumumkan, bahwa dengan nama Allah, saya
tidak meleset sedikitpun dan tidak berbuat kekurangan sedikitpun dalam menunjuk
Umar sebagaipengganti. Orang yang saya tunjuk, bukan dari keluargaku dan kalian
mendengar kata-kata dan mematuhi perintah, maka rakyat yang hadir semua
serentak menjawab kami dengar dan menerimanya.”
Meskipu peristiwa diangkatnya Umar sebagai Khalifah itu merupakan
fenomena yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan
tetap dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau
rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam. Untuk
menjajagi pendapat umum, Khalifah Abu Bakar melakukan serangkaian konsultasi
terlebih dahulu dengan beberapa orang sahabat, antara lain adalah Abdurrahman
ibn ‘Auf dan Usman ibn Affan.
Pada awalnya terdapat berbagai keberatan mengenai pengangkatan Umar
ini, sahabat Talhah misalnya segera menemui Abu Bakar untuk menyampaikan rasa
kecewanya. Namun oleh karena Umar adalah orang yang paling tepat untuk
menduduki kursi kekhalifahan, maka pengangkatan Umar mendapat persetujuan dan
baiat dari semua anggota masyarakat Islam. Umar ibn Khattab menyebut dirinya
“Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasul). Ia juga
mendapat gelar “Amir al-Mukminin” (komandan orang-orang beriman).
Pemilihan Umar sebagai khalifah terlaksana atas penunjukan seorang,
yaitu Abu Bakar. Saat Abu Bakar wafat, seluruh Arab dan pemerintahan ia
tinggalkan dengan aman dan tenteram. Di samping itu, Umar dengan setiap kata
dan perbuatanya selalu mengikuti langkah-langkah Rasul, maka periode Umar tidak
ada masalah. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam dan
perubahan-perubahan. Peta Islam melebar ke seluruh wilayah Persia bahkan
menyentuh sebagian India dan Sentral Asia serta wilayah kekuasaan Bizantium,
Syam, dan Mesir yang menjadi ancaman bagi negara Islam waktu itu.
Telah disebutkan, bahwa untuk kelancaran pemerintahan, Umar
membentuk departemen-departeman dan membagi wilayah kekuasaannya dengan beberapa provinsi dikepalai seorang amir
dan unit wilayah perpajakan (distrik) dipimpin oleh amil. Disebutkan,
bahwa Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang baru yang tidak terdapat
pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas / mutu
tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian
pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan non-Arab, khalifah
melarang transaksi jual beli tanah bagi Arab di luar Arab. Al-Mal
al-Ghanimah selama ini dibagikan kepada kepala negara (20%) dan tentara (80%),
Umar dimasukkannya ke kas negara. Tentara diberi gaji bulanan, maka sejak Umar
terbinalah regular army yang tinggal di berbagai barak seperti Fustat,
Damaskus, Ramalah, Ajnadain, Kufah, Basrah, Tsana, Aden, dan lain-lain.
Pada akhir kepemimpinannya, Umar dibunuh oleh Abu lu’lu’ (orang
Persia). Hal ini dilatarbelakangi oleh pemecatan Umar pada Mughirah ibn Syu’ba
sebagai Gubernur Kufah. Karena Mughirah melakukan pembocoran rahasia negara dan
pengkhianatan. Menjelang wafat Umar menugaskan kepada enam orang sahabat, yaitu
Abdurrahman ibn ‘Auf, Thlhah, Zubair, Usman ibn ‘Affan, Ali ibn Abi Tholib, dan
Sa’ad ibn Waqas. Kelompok tersebut diketahui Abdurrohman ditambah satu lagi
yaitu Abdullah ibn Umar, namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi
khalifah.
Alasan Umar membentuk tim tersebut, bahwa ia tidak sebaik Abu Bakar
yang bisa menunjuk seorang sebagai penggantinya. Akan tetapi ia juga tidak bisa
sebaik Nabi Muhammad untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka
diambil jalan tengah yaitu dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah
menentukan pengganti dirinya. Ketika ditanya para sahabat, mengapa Umar ambil
jalan tengah? Tidak membiarkan atau menunjuk penggantinya seperti Nabi
membiarkan kepada rakyat sedang Abu bakar menunjuk langsung penggantinya? Umar
berkata sebagai berikut:
“kalau aku mengangkat penggantiku, telah ada orang yang lebih baik
dari yang memilih pengganti dan kalau aku biarkan menurut kehendak rakyat, maka
telah ada pula orang yang lebih baik dari pada aku membiarkannya.”
Setelah melakukan voting, pemungutan suara dalam tim
tersebut, maka terpilihlah Usman ibn
‘Affan sebagai khalifah baru, pengganti Umar. Dan dalam sejarah Islam itulah
panitia pemilihan khalifah yang pertama kali.
1.
Tipe Kepemimpinan Umar Ibn Khattab
Selama memimpin dalam kurun waktu sepuluh tahun, Umar termasuk
pemimpin yang berhasil terutama bagi kesejahteraan rakyat dan peraturan Islam
yang semakin kokoh. Dalam pemerintahannya, ada majlis syura’, bagi Umar tanpa
musyawarah, maka pemerintahan tidak bisa jalan. Di sisi lain, ia bukan hanya
menanamkan nasionalisme Arab -Arab untuk Arab-,
demi kekuasaan dan kesatuan negara, juga yang paling utama adalah, in Arabia
there shall be no faith but the faith of Islam, dapat diartikan, bahwa di
negeri Arab tidak akan ada kepercayaan (kesetiaan) selain Islam. Khalifah Umar
juga meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan
membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna.
Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara.
Kekhalifahan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tidak ada istana
atau pakaian kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun untuk bawahannya,
sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dan mereka setiap waktu
dapat dihubungi oleh rakyat. Kehidupan khalifah memang merupakan penjelmaan
yang hidup dari prinsip-prinsip egaliter dan demokratis yang harus dimiliki
oleh seorang kepala negara.
Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan
baru, dia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah
ada, jika itu diperlukan oleh panggilan zaman demi tercapainya kemaslahatan
umat Islam. Misalnya mengenai kepemilikan tanah-tanah yang diperoleh dari suatu
peperangan (Ganimah). Khalifah Umar membiarkan tanah digarap oleh pemiliknya
sendiri di negeri taklukan dan melarang kaum Muslimin memilikinya karena mereka
menerima tunjangan dari Baitul Mal atau gaji bagi prajurit yang masih aktif.
Sebagai gantinya, atas tanah itu dikenakan pajak (al-kharaj). Begitu
pula Umar meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang
yang dijinakkan hatinya (al-Muallafat Qulubuhum) mengenai syarat-syarat
pemberiannya.
2.
Kontribusi Umar Dalam Pemerintahan
Ada beberapa kontribusi yang di lancarkan khalifah abu
Umar bin Khattab dalam kepemerintahannya, yakni:
1.
Mensukseskan ekpedisi yang di rintis oleh pendahulunya, dan belum
lagi genap satu tahun memerintah, ymar telah menorehkan tinta emas dalam
sejarah perluasan wilayah kekuasaan, pada tahun 635 M Damaskus, ibu kota suriah
ditundukan, setahun kemudian seluruh wilayah suriah jatuh ketangan Kaum
Muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk disebelah timur anak
sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal kuat itu runtuh bagai rumah
kartu.
2.
Meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahanya dengan
membangun jaringan pemerintahan sipil yang paripurna
3.
Menjamin hak yang sama bagi setiap warga negara, tiada istana atau
pakaian kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun untuk bawahanaya, sehingga
tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Atsar, al-Kamil fi-Tarikh 11, Bairut: Darus Sadir, 1965.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, Cet. 1, 2007.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos, Cet. 1, 1997.
Munir Amin, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
Cet. 1, 2010.
[1] Syalabi, Sejarah, Jil. I, Dan Hassan Ibrahim Hassan, Tarikhul-Islam,
as-Siyasi wad-Dini was-Saqafi wal-Ijtima’i, Jil. I, Maktabah an-Nahdah
al-misriyah, Kairo, Cet. IX. 1979, hal. 205.
[2] Ibnu Hisyam, sirat Ibn Hisyam 1V, Martaba’ah Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Auladuh, Mesir, 1937, hal. 340-341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan pesan pembaca. so jangan lupa tinggalkan komentarnya yea,,,
atau bsa tulis lngsung di guestbook,,, thanks your visited