A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya hadits setelah wafatnya Rasulullah SAW sampai pada
abad pertama dan kedua hijriah diturunkan secara lisan dari mulut ke mulut
melalui hafalan-hafalan. Sehingga pada
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz
(99-101 H) upaya penulisan hadits secara resmi dilakukan. Sejak dari sini
perkembangan ilmu hadits berkembang sedemikian pesatnya. Ilmu hadits dipelajari
oleh para ilmuwan, baik ilmuwan Islam maupun non-muslim. Hal keadaan ini bisa
dilihat dari banyaknya karya-karya besar para ilmuwan tersebut setelah mereka
menelaah ilmu hadits.
Para ilmuwan seperti tersebut di atas adalah dipengaruhi oleh kedudukan
hadits itu sendiri. Di mana hadits merupakan sumber utama hukum Islam setelah
Al-Qur’an. Dari sini dapat diketahui bahwa mempelajari hadits merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk dilakukan oleh siapapun ketika ingin memahami Islam
secara mendalam. Maka dalam mempelajari hadits diperlukan macam-macam kaidah di
dalamnya sehingga menghasilkan suatu kajian yang sesuai dan tepat.
Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi dua cakupan utama dimana ilmu hadits
secara garis besarnya terbagi dalam dua bagian, yaitu: ilmu hadits
riwayah dan ilmu hadits
dirayah.[1]
Dalam dua bagian ilmu hadits tersebut di atas, di dalamnya terdapat berbagai
objek kajian-kajian secara lebih mendalam lagi. Dan dalam tulisan ini, penulis
akan membahas salah satu bagian dari objek kajian yang terdapat dalam ilmu hadits yaitu sanad hadits yang secara khusus membicarakan naqd as sanad. Naqd as sanad merupakan kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan
sanad atau lebih singkat disebut dengan kritik sanad.[2]
Kajian
tentang sumber hukum Islam telah banyak dibahas oleh para pakar, baik
di kalangan umat Islam, maupun dari luar Islam. Di antaranya menyangkut dengan
sumber hukum Islam, terutama Hadits Nabi saw. Hal ini dapat dipahami bahwa
Hadits Nabi mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam pertumbuhan dan perkembangan
hukum Islam.
Di samping fungsi Hadits tersebut secara khusus sebagai salah satu
sumber dalam penetapan hukum, Hadits juga tidak sama dengan al-Qur’an,
sebab al-Qur’an telah ditulis pada masa Nabi dan telah dibukukan pada masa
pemerintahan Usman bin Affan. Sedangkan Hadits baru dibukukan pada akhir abad
pertama dan awal abad kedua hijrah yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul
Aziz (61-101 H).[3]
yang mana pada masa ini merupakan masa penutup sikap pro dan kontra tentang penulisan
Hadits.
Hadits merupakan
sumber hukum kedua dalam islam setelah al-Qur’an. Karena itu, hadits
memiliki posisi yang sangat strategis bagi kaum muslimin dalam memahami, meyakini dan
melaksanakan ajaran-ajaran agama. Namun, tidak seperti al-Qur’an yang
periwayatannya bersifat qoth’I (absolut), sebagian hadits diriwayatkan dengan redaksional
yang berbeda. Sejak jaman Rasulullah SAW pun tidak semua hadits terdokumentasikan. Ulama-ulama islam
telah mengembangkan metodologi untuk menguji dan mengkritisi hadits-hadits yang
berkembang di masyarakat. Di antaranya adalah dengan metodologi kritik sanad
dan matan. Dengan kedua metodologi ini, kita dapat menilai standar
akseptabilitas dimana suatu hadits bisa dikatakan shahih, hasan, dhoif, mutawatir,
ahad, maqbul, mardud, dan sebagainya. Di dalam makalah ini, kami akan sebisa mungkin
menjelaskan pemahaman kami mengenai sanad.
Hadits adalah segala perkataan, perbuatan Nabi dan hal ihwalnya.
Hadits ini sendiri terbagi menjadi beberapa bagian. Dan setiap hadits pasti
memiliki unsur-unsur pokok hadits, yaitu: sanad, matan dan rawi.
Dan diantara unsur-unsur pokok hadits yang harus kita ketahui agar hadits itu
tergolong shahih atau dhaif ialah sanad hadits.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sanad
Mahmud
al-thahhan dalam bukunya yang berjudul “Taisir Mushthalah Al-Hadits”
terbitan tahun 1979 hlm: 15 mengatakan. Kata“Sanad” menurut bahasa
adalah “sandaran”, atau sesuatu
yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar
kepadanya.[4] Menurut
istilah terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Altiby mengatakan dalam buku yang berjudul “Tadrib
Al-Rawy Fi Syarh Taqrib Al Nawawi, Juz 1” karangan dari Al-Suyuthi terbitan tahun 1988 hlm 5-6, bahwa sanad adalah :
“
Berita tentang jalan matan”.
Mahmud Al-Thahhan dalam bukunya yang berjudul “Taisir
Mushthalah Al-Hadits” terbitan tahun 1979 hlm: 15, juga menyebutkan
sanad ialah:
“Silsilah
orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan
hadis.”
Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam bukunya yang berjudul “Al-Sunnah
Qabla Al-Tadwin” terbitan tahun 1997, hlm 32, juga menyebutkan bahwa sanad
adalah:
“Silsilah
para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama”.
Al-Qasami dalam bukunya yang berjudul “Qawaid Al-Tahdits Min Funun
Musthalah Al-Hadits” terbitan tahun 1979 hlm 202, mengungkapkan: Yang
berkaitan dengan istilah sanad,
terdapat kata-kata seperti, al-isnad,
al-musnid dan al-musnad.
Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas,
sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama. Kata isnad berarti menyandarkan,
mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksudkan
di sini, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’uhadits ila qa ilih atau azwu hadits ila
qa’ilih). Sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad digunakan
oleh para ahli hadits dengan pengertian
yang sama.[8]
Mahmud Al-Thahhan
dalam bukunya yang berjudul “Taisir Mushthalah Al-Hadits” terbitan tahun
1979 hlm: 15, mengatakan bahwa: Kata al-musnad mempunyai
beberapa arti. Bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang, bisa berarti nama
suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan berdasarkan
nama-nama para sahabat para perawi hadits, seperti: kitab Musnad Ahmad, bisa
juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashi. [9]
B. Kedudukan Sanad bagi Hadits
Para
ahli hadits sangat hati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mengenal dari siapa
mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari
golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan
tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadits .Pada masa Abu Bakar r.a.
dan Umar r.a. periwayatan hadits diawasi secara hati-hati dan tidak akan
diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima
hadits sebelum yang meriwayatkannya disumpah.[10]
Meminta
seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk
menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tidak perlu
meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun meminta
seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan
riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya
periwayatan hadits. Yang diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh
kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi
/ keterangan. Kedudukan sanad dalam hadits sangat
penting, karena hadits yang diperoleh / diriwayatkan
akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat
diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang
sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa
hadits dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di
antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:[11]
هَذَالْعِلْمُ دِيْنَ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ
دِيْنَكُمْ
Artinya:
"Ilmu
ini (hadis ini), adalah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu
mengambilagamamu dari mereka,"
Abdullah
lbnu Mubarak berkata:
اَلْإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلَا اَلْإِسْنَادُ لَقَالَ
مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمِ مَثَلُ الَّذِيْ
يَطْلُبُ اَمْرَدِيْنِهِ بِلَا إِسْنَادِ كَمَثَلِ الَّذِيْ يَرْتَقِيْ السَّطْعَ
بِلَا سُلَّمٍ
Artinya:
"Menerangkan
sanad hadits, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad,tentu siapa
saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami denganmereka, ialah
sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpamemerlukan
sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga."
Asy-Syafii
berkata:
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الحَدِيْثَ بِلَا إِسْنَادٍ كَمَثَلِ
حَاطِبِ لَيْلٍ
Artinya:
"Perumpamaan
orang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad, sama dengan orang yang
mengumpulkan kayu api di malam hari. "
Perhatian
terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai
daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah
Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadits
berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad
yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad 'aali.[12]
Ibn
Hazm mengatakan bahwa susunan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada
Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu
keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Memperhatikan
sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuanumat Islam.
C.
Unsur-Unsur Yang Termuat Dalam Sanad[13]
a.
kaidah-kaidah mayor kritik sanad
Kaidah kritik sanad dapat di ketahui dari
pengartian istilah hadis sahih. Menurutnya ulama hadis misalnya ibnu Al-shalah
(W.643H), hadis sahih ialah:
Artinya : “ hadis yang bersambung sanadnya (sampai ke nabi), diriwayatkan oleh
(periwayat) yang adil dan zabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu), tidak
terdapat kejanggalan (syuzus dan illat).”
Dari pengertian istilah tersebut, dapat di uraikan
unsur-unsur hadis sahih menjadi:
1.
Sanad bersanbung.
2.
Periwayat bersifat adil.
3.
Periwayat bersifat zabit.
4.
Dalam hadis itu tidak ada kejanggalan(syuzus)
5.
Dalam hadis itu tidak ada cacat (illat).
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan
dengan sanad, sedangkan dua Unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan
matan. Dengan
demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan
hadis yakni lima macam berkaitan dengan sanad. Lima unsur yang terdapat
dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat di dapatkan menjadi
tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syuzus dan terhindar dari
illat di masukan pada unsur pertama dan ketiga.
b.
kaidah-kaidah minor dalam kritik sanad
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi
kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan
butir-butirnya sebagai berikut:
1.
unsur kaidah mayor yang pertama, sanad
bersambung, mengandung unsur-unsure kaidah minor :
Ø Muttasil (
bersambung )
Ø Mahfuz (
terhindar dari syuzus )
Ø Bukan mual
(bercacat)
2.
unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat
adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor :
Ø Beragama islam
Ø Mukalaf (balig
dan berakal sehat)
Ø Melaksanakan
ketentuan agama islam
Ø Memelihara
muruah( adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada
tegakknya kebajikan moral dan kebiasaan- kebiasaan).
3.
unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat
zabit dan atau azbat, mengandung unsur- unsur kaidah minor :
Ø Hapal dengan
baik hadis yang diriwayatkannya.
Ø Mampu dengan
baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain.
Ø Terhindar
syuzus.
Ø Terhindar dari
illat
KESIMPULAN
1) Kata “Sanad” menurut
bahasa adalah “sandaran”, atau
sesuatu yang kita jadikan sandaran. Menurut istilah terdapat perbedaan rumusan
pengertian, di antaranya sanad ialah “jalannya matan hadits” dan “Silsilah
orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikannya kepada matan
hadis”.
2) Yang berkaitan dengan
istilah sanad, terdapat kata-kata
seperti, al-isnad,
al-musnid dan al-musnad.
3) Kata al-musnad mempunyai
beberapa arti. Bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang; bisa berarti nama
suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunan berdasarkan
nama-nama para sahabat para perawi hadits, seperti: kitab Musnad Ahmad, bisa
juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan muttashi.
4) Kedudukan sanad
dalam hadits sangat berperan penting, karena sanadlah yang menentukan sebuah
hadits itu bisa dikatakan shahih, hasan, dhoif, mutawatir, ahad, maqbul,
mardud, dan sebagainya.
5) Unsur-unsur yang
terkandung dalam hadits terbagi menjadi berbagai macam bagian seperti yang
tertera di atas.
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan
dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap dengan segala hormat dan
rasa rendah hati kami kepada para pembaca yang budiman sekiranya sudi
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah
ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah
ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Almanar, M Abduh, studi ilmu hadits, Jakarta: Gaung Persada Press
(GP Press), 2011.
Al-katib, Muhammad Ajjaj, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Bairut:
Daar al-Fikr, 1981.
Muhammad Ahmad dan Mudzakkir, M, Ulumul
Hadis, Bandung: Pustaka Setia. 2000.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT. Alma’arif,
2009
Solehuddin, M Agus & Suyadi, Agus, Ulumul Hadits,Bandung:
Pustaka Setia, 2009
Suparta,
Munzier,Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
http://www.sarjanaku.com/2010/10/pentingnya-penelitian-sanad.html
[2]M. Agus Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hal. 109.
[3] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Bairut,
Daar al-Fikr, 1981, hal. 373.
[9] Ibid. Hal 46. Hadis Marfu’ dan hadis muttshil adalah
dua istilah untuk hadis yangdisandarkan kepada Nabi SAW. Dan sanadnya
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan pesan pembaca. so jangan lupa tinggalkan komentarnya yea,,,
atau bsa tulis lngsung di guestbook,,, thanks your visited